Tiba-tiba saja saya harus menjadi konsultan! Ada seorang sahabat yang mengutarakan kecemasannya kepada saya terkait dengan peran domestik yang harus dijalaninya sebagai tuntutan budaya. Kebetulan, sahabat saya ini seorang perempuan yang merasa dirinya tidak begitu terampil dalam urusan rumah tangga, padahal ia berencana untuk membina sebuah rumah tangga. Juga ditanyakan kepada saya tentang apakah nanti ia harus mengakhiri karirnya yang sekarang jikalau setelah berumah tangga sang suaminya nanti tidak mengizinkannya untuk melanjutkannya.
Kecemasannya sebenarnya cukup sederhana, namun signifikan bagi banyak orang. Sudah lumrah dalam masyarakat Patriarkhi menempatkan perempuan sebagai subordinat kaum lelaki. Kebermaknaan perempuan sebagai manusia yang punya kehendak bebas, daya cipta dan nalar secara independen tergerus seiring masuknuya ia ke dalam pelembagaan perkawinan. Secara ekstrim, sahabat saya yang lain pernah mengatakan bahwa perkawinan tak lain dari legalisasi penindasan. Corak pandangan begini -yang memperhadapkan perempuan dan laki-laki- menurut salah seorang senior saya yang master sosiologi adalah kelanjutan dari dialektika materialistiknya Marx yang dipandang cukup mewakili bagi sebagian orang sebagai paradigma dalam memandang relasi lelaki dan perempuan.
Sesungguhnya sahabat perempuan saya tadi tidak membingkai pandangannya dalam paradigma konflik antar kelas (jika laki-laki dan perempuan hendak didefinisikan sebagai suatu kelas dalam relasi kuasa) atau konflik antar peran. Ia sebenarnya sederhana. Ia mencemaskan ketidakmampuannya dalam memberikan layanan terbaik pada orang yang dicintainya nantinya. Salah satu yang amat disadarinya adalah bahwa ada kenyataan yang tidak bisa dihindari bahwa ia harus mengurusi perkara domestik ketika nanti berkeluarga -khususnya urusan dapur. Baginya, terlepas dari point of view kaum feminis, melayani suami dalam bentuk paling konkrit itu adalah perwujudan rasa cinta dan tanggung jawab saja.
Yang kedua, adalah tentang kebebasannya. Adalah lazim pula, selain akan dihadapkan pada tugas-tugas domestik, ia pun harus menyerahkan dirinya pada si lelaki yang menyuntingnya. Dengan tangkas perempuan ini memberi pembenaran terhadap pandangannya ini dengan sebuah hadits, "Kalau seandainya manusia boleh menyembah manusia, maka suami lah yang layak disembah". Terus terang, saya sendiri tidak pernah berhubungan langsung dengan hadits ini kecuali secara samar-samar dari cerita orang.
Hadits-Hadis misoginis seringkali digunakan oleh kaum lelaki untuk melakukan pembenaran atas tindakannya. Seorang ustadz pernah mengatakan pada saya bahwa jikalau seorang isteri melakukan puasa sunat tanpa izin suaminya maka haramlah baginya puasanya, bahkan jikalau ayah si isteri meninggal lalu sang suami menolak memberi izin pada sang isteri untuk mentakziahinya, maka haramlah ia melihat jenazah itu walaupun itu adalah jenazah ayah kandungnya sendiri. Sang ustadz juga mengungkapkan kesetujuannya apabila seorang perempuan harus dilarang keluar rumah. "Menimbulkan fitnah!" tegasnya.
Di Milis Alumni muda PII pernah muncul diskusi tentang fenomena munculnya kader-kader PII Wati akhir-akhir ini sebagai tulang punggung gerakan. Beberapa daerah menyerahkan Imamah kepada PII Wati disamping banyak juga yang masih memilih PII wan sebagai Ketua Daerah namun dengan kepengurusan yang gemuk bertabur PII Wati. Posisi sang ketua praktis "anak penyamun di sarang perawan". Namun sayang masih ada tanggapan yang tidak antusias terhadap gejala ini. Salah seorang penanggap mengatakan bahwa sebaiknya PII wati kembali saja pada tugasnya karena -katanya- menurut agama yang bertugas memimpin itu adalah kaum laki-laki. Reasoning yang dikemukakan menyebutkan banyaknya kasus kegagalan ketika kepemimpinan diserahkan kepada kaum perempuan -walaupun di email itu tidak disebutkan fakta-fakta yang mendukung. Sang penulis berdalih karena adanya banyak keterbatasan alamiah yang menghambat perempuan untuk memimpin.
Alasan-alasan untuk menafikan kepemimpinan perempuan sangat aneh. Tidak ada satu ayat pun yang melarang perempuan menjadi pemimpin dan tidak pula ada satu gejala yang secara signifikan mengkorelasikan kesuksesan memimpin dnegan jenis kelamin. Logika sederhananya, apakah jika ada kasus kegagalan kepemimpinan perempuan disebabkan oleh keperempuanannya? Bagaimana dengan kepemimpinan lelaki yang gagal? Apakah karena kelaki-lakiannya? Lalu bagaimana dengan kepemimpinan perempuan yang berhasil? Rangkaian pertanyaan ini membuat kita semakin yakin tentang lemahnya logika penolakan kepemimpinan perempuan jika menggunakan sudit pandang kemampuan (ability). Secara nash pun juga telah tertolak.
Membicarakan kepemimpinan dalam benak masyarakat kita yang lemah memang agak sulit. Cobalah bertanya kepada orang-orang di sekitar anda, menurut mereka apa yang dirasakan oleh pimpinan? Jawaban yang banyak muncul adalah jawaban hedonistik. Pimpinan merasakan kesenangan, kaya bergelimang harta, tenggelam dalam timbunan makanan, tak punya kesempatan untuk mengerjakan perkerjaannya sendiri karena keburu dilayani, dikelilingi banyak kesenangan, hiburan, bisa main suruh dan perintah dengan kerling sudut mata dan lain-lain. Citra yang muncul adalah citra kesenangan dan keterlayanan. Amat sedikit yang menjawab misalnya, bahwa yang dirasakan pemimpin adalah keruwetan, kelelahan, keresahan, kecemasan, kesulitan untuk mengatur waktu, repot untuk memikirkan kemakmuran yang dipimpin, dituntut untuk berkorban lebih banyak, and so on. Citra pemimpin sejati seperti ini (seperti Khalifah Rasyidun, seperti para Imam yang 12) tidak begitu lekat di benak kita. Mungkin karena itu pula orang berebut jadi pemimpin di negeri ini (jadi presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, wali nagari sampai ketua RT)
Kembali ke konteks rumah tangga, ekspektasi akan kepemimpinan yang terlayani ini rupanya menemukan ruang yang paling berkecambah. Dengan memaksimalkan benefit dari ayat "Arijaalu Qawwamuuna Ala an-Nisa" lelaki seperti terdorong teriakan suporter Persebaya menggeber kenikmatan pelayanan dari perempuan. Sang Isteri menjadi sasaran tembak yang empuk dan lezat untuk terus diperas dan diperah. Energinya dimanfaatkan sampai merosot di siang hari dan melorot di malam hari. Banyak perempuan yang menjadi isteri juga membernarkan perilaku ini. Pertama karena ketidaktahuan akibat proses budaya yang mengarusutamakan kaum lelaki, kedua karena terpaksa karena takut pada sosok lelaki yang secara fisik lebih kuat dan ketiga karena takut dianggap durhaka kepada Tuhan.
Kalau menilik lebih selidik kepada proses keberumahtanggaan Rasulullah SAW, amatlah terlihat jelas bahwa motivasi terbesar Rasul adalah melakukan yang terbaik dalam berinteraksi dengan isterinya. Rasul Muhammad -perlu ditegaskan: sang penguasa jazirah Arabia, pengasas satu kerajaan langit dan puluhan kerajaan dunia, sang pemimpin yang tidak hanya kata-katanya yang dinanti tapi juga air bekas mandi dan wudhunya ditampung, yang melakukan 60 ekspedisi dalam delapan tahun atau hampir satu ekpedisi setiap bulan yang tentunya sangat sibuk dengan proses persiapan pasukan sampai proses closing sebuah ekspedisi- ternyata tidak terlihat sebagai orang yang minta dilayani oleh isteri-isterinya. Kalau hendak tidur, Rasul tidur di tempat yang ada saja. Dalam satu riwayat dikatakan ketika ia pulang cukup larut sementara Aisyah telah tertidur lelap, Rasul tidak sampai hati mengganggu kenyamanan isterinya. Dengan bersahaja ia gelar sorbannya di depan pintu rumahnya untuk menikmati lelap malamnya.
Rasul Muhammad makes us in tears to hear his relation with women. Umar, salah seorang mertua Nabi -ayah dari ummul mukminin Hafsah- pernah memarahi anaknya karena begitu santai dan tidak melayani nabi sebagaimana isteri-isteri lain di Arabia pada waktu itu. Para isteri nabi mengatakan bahwa Rasul memang tidak pernah meminta mereka melakukan itu dan jikalau kaum muslimat tahu tentang perilaku Nabi pada isterinya maka mereka akan berontak pada suami masing-masing. Rasul memberikan arahan kepada isteri-isterinya, ia mendidik dan membimbing isterinya, ia membina mawaddah dengan mereka, bukan membangun relasi kuasa. Rasul Muhammad amat lihai dalam mengelola hubungan dengan isterinya tanpa menggangu isteri-isterinya. Ia melakukan sendiri yang ia bisa, menjahit baju sendiri, membersihkan pakaiannya sendiri, mempermak sendiri sepatunya dan membantu isterinya memasak. Bayangkan, itu dilakukan oleh pemimpin terkuat di Arabia, dunia yang keras dengan lingkungan yang ganas, dan dalam corak masyarakat patriarki yang kental. Luar Biasa! Standing Ovation, Please!!
Lalu bagaimanakah posisi perempuan sebagai isteri dalam keluarga Rasul? Let we see Mother Chadijah, The First Lady ini Islam. Khadijah adalah potret relasi suami isteri yang ideal -sorry i do not belittle Aisyah-. Khadijah menjadi mitra Muhammad dalam rumah tangga. Khadijah yang lebih tua 2-5 tahun dari Muhammad menjadi peneguh, sekaligus tenpat mengadu bagi Muhammad. Khadijah adalah partner dalam dikusi, mitra dalam menentukan sikap dan menjamin kesiapan keluarganya menghadapi tantangan. Oleh karenanya, Aisyah sering cemburu ketika Muhammad masih selalu menyebut Khadijah ketika Khadijah telah wafat.
Lalu bagaimanakah tentang leadership di keluarga itu? I m Sorry Coz I have not Gotten married. Tapi yang jelas, ada beberapa prinsip yang dipegang dalam relasi kepemimpinan di Rumah Tangga. Ayat "Arrijalu Qawwamuuna Ala Nisa" masih menyatakan lanjutan bahwa Kepemimpinan laki-laki itu bukan bersumber dari kelaki-lakiannya, tapi dari dua hal yakni kelebihan dan pemberian nafkah. Kelebihan ini mungkin saja karena kecerdasan, kompetensi dan lainnya. Prinsip kedua, Kepemimpinan laki-laki haruslah kepemimpinan partisipatif dengan menjadikan isteri sebagai mitra. Harus ada check and balance, ada feedback yang dibangun dalam relasi itu. Ketiga, kepemimpinan kaum lelaki itu bukan kepemimpinan dalam makna masyarakat kita yang miskin dan inferior ini yakni kepemimpinan yang terlayani, namun haruslah kepemimpinan yang melayani seperti Nabi kepada isteri-isterinya. Bukan kepemimpinan yang memaksa dan menuntut-nuntut, menunjuk-nunjuk dan memberi perintah. Bukan itu. It Must Be Smooth Leadership, SERVANT LEADERSHIP (kepemimpinan yang melayani) sehingga makna ayat di atas bukan lagi "Laki-laki adalah pemimpin perempuan", tapi "Laki-laki adalah penyokong, penguat, pengokoh, penopang, pensupport bagi perempuan." dan yang keempat, tulisan ini tidak hendak membuat perempuan lalu menjadi lebih kuat, lebih berkuasa dan akhirnya malah menciptakan ketimpangan baru karena perempuan lalu menggantikan kejumawaan lelaki, tapi perempuan dan laki-laki tetap punya kewajiban yang harus didialogkan, punya tanggungjawab yang harus ditanggung bersama, dan punya tugas-tugas yang dibagi sesuai kesepakatan.
Yang Terakhir, Kata kunci adalah Mawaddah. Apakah yang lebih daripada cinta? Kata orang, mawaddah berbeda dengan mahabbah walaupun di Indonesia sama-sama diterjemahkan sebagai cinta. Seperti apakah Mawaddah? Seperti Muhammad dan Khadijah... Wallahu a'lam.
To My Friend Who Asked Me before, Be The Chadijah...!
Kecemasannya sebenarnya cukup sederhana, namun signifikan bagi banyak orang. Sudah lumrah dalam masyarakat Patriarkhi menempatkan perempuan sebagai subordinat kaum lelaki. Kebermaknaan perempuan sebagai manusia yang punya kehendak bebas, daya cipta dan nalar secara independen tergerus seiring masuknuya ia ke dalam pelembagaan perkawinan. Secara ekstrim, sahabat saya yang lain pernah mengatakan bahwa perkawinan tak lain dari legalisasi penindasan. Corak pandangan begini -yang memperhadapkan perempuan dan laki-laki- menurut salah seorang senior saya yang master sosiologi adalah kelanjutan dari dialektika materialistiknya Marx yang dipandang cukup mewakili bagi sebagian orang sebagai paradigma dalam memandang relasi lelaki dan perempuan.
Sesungguhnya sahabat perempuan saya tadi tidak membingkai pandangannya dalam paradigma konflik antar kelas (jika laki-laki dan perempuan hendak didefinisikan sebagai suatu kelas dalam relasi kuasa) atau konflik antar peran. Ia sebenarnya sederhana. Ia mencemaskan ketidakmampuannya dalam memberikan layanan terbaik pada orang yang dicintainya nantinya. Salah satu yang amat disadarinya adalah bahwa ada kenyataan yang tidak bisa dihindari bahwa ia harus mengurusi perkara domestik ketika nanti berkeluarga -khususnya urusan dapur. Baginya, terlepas dari point of view kaum feminis, melayani suami dalam bentuk paling konkrit itu adalah perwujudan rasa cinta dan tanggung jawab saja.
Yang kedua, adalah tentang kebebasannya. Adalah lazim pula, selain akan dihadapkan pada tugas-tugas domestik, ia pun harus menyerahkan dirinya pada si lelaki yang menyuntingnya. Dengan tangkas perempuan ini memberi pembenaran terhadap pandangannya ini dengan sebuah hadits, "Kalau seandainya manusia boleh menyembah manusia, maka suami lah yang layak disembah". Terus terang, saya sendiri tidak pernah berhubungan langsung dengan hadits ini kecuali secara samar-samar dari cerita orang.
Hadits-Hadis misoginis seringkali digunakan oleh kaum lelaki untuk melakukan pembenaran atas tindakannya. Seorang ustadz pernah mengatakan pada saya bahwa jikalau seorang isteri melakukan puasa sunat tanpa izin suaminya maka haramlah baginya puasanya, bahkan jikalau ayah si isteri meninggal lalu sang suami menolak memberi izin pada sang isteri untuk mentakziahinya, maka haramlah ia melihat jenazah itu walaupun itu adalah jenazah ayah kandungnya sendiri. Sang ustadz juga mengungkapkan kesetujuannya apabila seorang perempuan harus dilarang keluar rumah. "Menimbulkan fitnah!" tegasnya.
Di Milis Alumni muda PII pernah muncul diskusi tentang fenomena munculnya kader-kader PII Wati akhir-akhir ini sebagai tulang punggung gerakan. Beberapa daerah menyerahkan Imamah kepada PII Wati disamping banyak juga yang masih memilih PII wan sebagai Ketua Daerah namun dengan kepengurusan yang gemuk bertabur PII Wati. Posisi sang ketua praktis "anak penyamun di sarang perawan". Namun sayang masih ada tanggapan yang tidak antusias terhadap gejala ini. Salah seorang penanggap mengatakan bahwa sebaiknya PII wati kembali saja pada tugasnya karena -katanya- menurut agama yang bertugas memimpin itu adalah kaum laki-laki. Reasoning yang dikemukakan menyebutkan banyaknya kasus kegagalan ketika kepemimpinan diserahkan kepada kaum perempuan -walaupun di email itu tidak disebutkan fakta-fakta yang mendukung. Sang penulis berdalih karena adanya banyak keterbatasan alamiah yang menghambat perempuan untuk memimpin.
Alasan-alasan untuk menafikan kepemimpinan perempuan sangat aneh. Tidak ada satu ayat pun yang melarang perempuan menjadi pemimpin dan tidak pula ada satu gejala yang secara signifikan mengkorelasikan kesuksesan memimpin dnegan jenis kelamin. Logika sederhananya, apakah jika ada kasus kegagalan kepemimpinan perempuan disebabkan oleh keperempuanannya? Bagaimana dengan kepemimpinan lelaki yang gagal? Apakah karena kelaki-lakiannya? Lalu bagaimana dengan kepemimpinan perempuan yang berhasil? Rangkaian pertanyaan ini membuat kita semakin yakin tentang lemahnya logika penolakan kepemimpinan perempuan jika menggunakan sudit pandang kemampuan (ability). Secara nash pun juga telah tertolak.
Membicarakan kepemimpinan dalam benak masyarakat kita yang lemah memang agak sulit. Cobalah bertanya kepada orang-orang di sekitar anda, menurut mereka apa yang dirasakan oleh pimpinan? Jawaban yang banyak muncul adalah jawaban hedonistik. Pimpinan merasakan kesenangan, kaya bergelimang harta, tenggelam dalam timbunan makanan, tak punya kesempatan untuk mengerjakan perkerjaannya sendiri karena keburu dilayani, dikelilingi banyak kesenangan, hiburan, bisa main suruh dan perintah dengan kerling sudut mata dan lain-lain. Citra yang muncul adalah citra kesenangan dan keterlayanan. Amat sedikit yang menjawab misalnya, bahwa yang dirasakan pemimpin adalah keruwetan, kelelahan, keresahan, kecemasan, kesulitan untuk mengatur waktu, repot untuk memikirkan kemakmuran yang dipimpin, dituntut untuk berkorban lebih banyak, and so on. Citra pemimpin sejati seperti ini (seperti Khalifah Rasyidun, seperti para Imam yang 12) tidak begitu lekat di benak kita. Mungkin karena itu pula orang berebut jadi pemimpin di negeri ini (jadi presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, wali nagari sampai ketua RT)
Kembali ke konteks rumah tangga, ekspektasi akan kepemimpinan yang terlayani ini rupanya menemukan ruang yang paling berkecambah. Dengan memaksimalkan benefit dari ayat "Arijaalu Qawwamuuna Ala an-Nisa" lelaki seperti terdorong teriakan suporter Persebaya menggeber kenikmatan pelayanan dari perempuan. Sang Isteri menjadi sasaran tembak yang empuk dan lezat untuk terus diperas dan diperah. Energinya dimanfaatkan sampai merosot di siang hari dan melorot di malam hari. Banyak perempuan yang menjadi isteri juga membernarkan perilaku ini. Pertama karena ketidaktahuan akibat proses budaya yang mengarusutamakan kaum lelaki, kedua karena terpaksa karena takut pada sosok lelaki yang secara fisik lebih kuat dan ketiga karena takut dianggap durhaka kepada Tuhan.
Kalau menilik lebih selidik kepada proses keberumahtanggaan Rasulullah SAW, amatlah terlihat jelas bahwa motivasi terbesar Rasul adalah melakukan yang terbaik dalam berinteraksi dengan isterinya. Rasul Muhammad -perlu ditegaskan: sang penguasa jazirah Arabia, pengasas satu kerajaan langit dan puluhan kerajaan dunia, sang pemimpin yang tidak hanya kata-katanya yang dinanti tapi juga air bekas mandi dan wudhunya ditampung, yang melakukan 60 ekspedisi dalam delapan tahun atau hampir satu ekpedisi setiap bulan yang tentunya sangat sibuk dengan proses persiapan pasukan sampai proses closing sebuah ekspedisi- ternyata tidak terlihat sebagai orang yang minta dilayani oleh isteri-isterinya. Kalau hendak tidur, Rasul tidur di tempat yang ada saja. Dalam satu riwayat dikatakan ketika ia pulang cukup larut sementara Aisyah telah tertidur lelap, Rasul tidak sampai hati mengganggu kenyamanan isterinya. Dengan bersahaja ia gelar sorbannya di depan pintu rumahnya untuk menikmati lelap malamnya.
Rasul Muhammad makes us in tears to hear his relation with women. Umar, salah seorang mertua Nabi -ayah dari ummul mukminin Hafsah- pernah memarahi anaknya karena begitu santai dan tidak melayani nabi sebagaimana isteri-isteri lain di Arabia pada waktu itu. Para isteri nabi mengatakan bahwa Rasul memang tidak pernah meminta mereka melakukan itu dan jikalau kaum muslimat tahu tentang perilaku Nabi pada isterinya maka mereka akan berontak pada suami masing-masing. Rasul memberikan arahan kepada isteri-isterinya, ia mendidik dan membimbing isterinya, ia membina mawaddah dengan mereka, bukan membangun relasi kuasa. Rasul Muhammad amat lihai dalam mengelola hubungan dengan isterinya tanpa menggangu isteri-isterinya. Ia melakukan sendiri yang ia bisa, menjahit baju sendiri, membersihkan pakaiannya sendiri, mempermak sendiri sepatunya dan membantu isterinya memasak. Bayangkan, itu dilakukan oleh pemimpin terkuat di Arabia, dunia yang keras dengan lingkungan yang ganas, dan dalam corak masyarakat patriarki yang kental. Luar Biasa! Standing Ovation, Please!!
Lalu bagaimanakah posisi perempuan sebagai isteri dalam keluarga Rasul? Let we see Mother Chadijah, The First Lady ini Islam. Khadijah adalah potret relasi suami isteri yang ideal -sorry i do not belittle Aisyah-. Khadijah menjadi mitra Muhammad dalam rumah tangga. Khadijah yang lebih tua 2-5 tahun dari Muhammad menjadi peneguh, sekaligus tenpat mengadu bagi Muhammad. Khadijah adalah partner dalam dikusi, mitra dalam menentukan sikap dan menjamin kesiapan keluarganya menghadapi tantangan. Oleh karenanya, Aisyah sering cemburu ketika Muhammad masih selalu menyebut Khadijah ketika Khadijah telah wafat.
Lalu bagaimanakah tentang leadership di keluarga itu? I m Sorry Coz I have not Gotten married. Tapi yang jelas, ada beberapa prinsip yang dipegang dalam relasi kepemimpinan di Rumah Tangga. Ayat "Arrijalu Qawwamuuna Ala Nisa" masih menyatakan lanjutan bahwa Kepemimpinan laki-laki itu bukan bersumber dari kelaki-lakiannya, tapi dari dua hal yakni kelebihan dan pemberian nafkah. Kelebihan ini mungkin saja karena kecerdasan, kompetensi dan lainnya. Prinsip kedua, Kepemimpinan laki-laki haruslah kepemimpinan partisipatif dengan menjadikan isteri sebagai mitra. Harus ada check and balance, ada feedback yang dibangun dalam relasi itu. Ketiga, kepemimpinan kaum lelaki itu bukan kepemimpinan dalam makna masyarakat kita yang miskin dan inferior ini yakni kepemimpinan yang terlayani, namun haruslah kepemimpinan yang melayani seperti Nabi kepada isteri-isterinya. Bukan kepemimpinan yang memaksa dan menuntut-nuntut, menunjuk-nunjuk dan memberi perintah. Bukan itu. It Must Be Smooth Leadership, SERVANT LEADERSHIP (kepemimpinan yang melayani) sehingga makna ayat di atas bukan lagi "Laki-laki adalah pemimpin perempuan", tapi "Laki-laki adalah penyokong, penguat, pengokoh, penopang, pensupport bagi perempuan." dan yang keempat, tulisan ini tidak hendak membuat perempuan lalu menjadi lebih kuat, lebih berkuasa dan akhirnya malah menciptakan ketimpangan baru karena perempuan lalu menggantikan kejumawaan lelaki, tapi perempuan dan laki-laki tetap punya kewajiban yang harus didialogkan, punya tanggungjawab yang harus ditanggung bersama, dan punya tugas-tugas yang dibagi sesuai kesepakatan.
Yang Terakhir, Kata kunci adalah Mawaddah. Apakah yang lebih daripada cinta? Kata orang, mawaddah berbeda dengan mahabbah walaupun di Indonesia sama-sama diterjemahkan sebagai cinta. Seperti apakah Mawaddah? Seperti Muhammad dan Khadijah... Wallahu a'lam.
To My Friend Who Asked Me before, Be The Chadijah...!
2 Comments
i m still remember when I read the book of leadership...there is a good quotation there that A real leadership is a process not a Power.
ReplyDeleteI believe if there is a man who lead a woman because of his power means that he tried to be a coward of himself and soon or later he becomes the weakest person.for my 'best friend'...when u tried to lead a woman someday, please do by ur heart not by ur muscles coz truly to say i am still adore ur way till the end. with my best wishes to you:)
salam kenal.
ReplyDeletesaya tersasar di blog ini, kebetulan nama kita sama.
artikel yang ini boleh dikopipes ga? untuk difwd ke teman-teman...