Cerita Pak Belalang ini mirip dengan kisah Abu Nawas dan Raja Harun Ar-Rasyid. Bedanya, Abu Nawas menipu raja dengan kecerdasannya, sedangkan Pak Belalang, dengan kebodohannya. Cerita Melayu yang sangat mirip dengan Abu Nawas adalah Hikayat Pak Bual.
Saya berada di Sumatera Utara untuk sebuah penelitian dari LP3ES. Di sela- sela waktu saya berjalan kaki di sekitar Istana Maimun, tempat bertahtanya Sultan Deli. Di seberang Istana Maimun ada gedung Pusda yang saat ini menjadi tempat penyelenggaraan pesta buku yang diadakan IKAPI. Jangan dibayangkan pesta buku ini seperti di Jakarta. Koleksi di sini masih kalah banyak dibandingkan Gramedia Depok.
Istana Maimun tidak jauh lebih baik. Tahun lalu ketika saya ke Medan kondisinya lebih parah. di depan, tepat di tangga masuk -kalau di film biasanya di sana ada 2 prajurit yang siaga- bertumpukan lapak Indomie Telor yang kotor dan tidak tertata. Melihat Istana dari depan persis melihat acara malam mingu dari luar Monas. Berserakan para penjual samapi ke tangga istana. Pada latar samping terlihat sebuh motor diparkir di bawah tangga. Kata orang di sana, itu adalah motor kerabat istana yang tinggal di bagian tengah Istana Maimun. Jadi Istana Maimun adalah juga tempat tinggal bagi kerabat Kesultanan. Sultannya sendiri, Sultan Aria Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam Shah, sekarang berada di Makassar bersama ibunya yang orang sana. Sultan ini masih berusia 12 tahun. Ia terpaksa menjadi Sultan karena Ayahnya, Sultan Otteman Mahmud Perkasa Alam tewas dalam kecelakaan Helikopter di Aceh pada tahun 2005, beberapa hari setelah kematian Gubernur Sumut, Tengku Rizal Nurdin dan Mantan Gubernur Sumur Raja Inal Siregar akibat kecelakaan pesawat Mandala di Jl. Jamin Ginting, Medan.
Pada latar belakang, anda akan melihat pakaian dijemur pada jemuran dari bahan Alumunium. jemuran yang biasa dipakai istri saya di Depok. terkadang keluarga istana juga keluar ke depan, pakai baju daster kalau perempuan, pakai singlet dan celana pendek kalau laki-laki. Sungguh tidak seperti kerabat istana dalam kisah-kisah lama. Latar depan Istana ini jangan salah lagi. Hijau karena rumput yang memanjang tak terurus. Kasihan betul kesultanan ini. Tidak seperti Kesultanan Jogja.


Saya sempat mampir ke rumah Tante di Medan, dipinjami motor oleh adik saya yang kebetulan Ketua Umum KAMMI Sumatera Utara. Di sepanjang jalan yang saya saksikan tak lebih dari kesemrawutan. Jangan ditanya tentang Helm. Polisi tampaknya sudah tidak berdaya. Lampu, merah dicuekin aja "Belum merah-merah kali bang!" Begitu katanya. Saya yang mencoba mengikuti aturan lalu lintas juga jadi tak berdaya. Jika saya berhenti di depan lampu merah, maka saya akan ditabrak dari belakang oleh pengendara lain yang tak berhenti. Jadi, terpaksalah saya turut melanggar aturan :)
Ditengah jalan, ada kotak sumbangan. Jangan salah, yang saya maksud di tengah jalan itu tidak sama dengan di tempat lain. Jika di kota lain, peminta sumbangan akan berhenti di tengah jalan diantara lajur kiri dan lajur kanan. Nah, di Medan, peminta sumbahan ada di tengah kedua lajur. Di Tengah Lajur kiri dan di Tengah lajur kanan. Tidak ada peminta sumbangan, hanya ada kotak besar menghalangi jalan.
Di Jalan Panglima Denai, ada pemandangan menarik. Di sana ada Yayasan Islam Abu Thalib. Kalau tidak salah, menurut Kaum Sunni, Abu Thalib kan kafir :)
Yang menarik lagi, logo kerajaan Sisingamangaraja XII berbentuk pedang bercabang dua, persis pusaka bendera "Stambul" di keraton Yogya. Pedang bercabang dua juga mengingatkan kita pada pedang Amirul Mukminin Ali as, Zulfiqar.
1 Comments
Salam dari penulis buku
ReplyDelete40 Hari Di Tanah Suci.