Saat usiaku 6 tahun kurang, serombongan mobil plat merah warna hijau muda milik Departemen Penerangan lewat di jalan depan rumah. Dari speakernya tedengar teriakan,"Hidup Golkar, Hidup Pembangunan." Namanya anak-anak, aku berlari menyongsong kedatangan mobil itu bersama anak-anak lainnya sembari turut berteriak, "Hidup Golkar…."
Saat itulah nenek memperingatkanku. "Jangan dukung Golkar, dia lah yang mencelakai bangsa kita bersama Soeharto."
Memori ini begitu melekat di ruang batinku. Dari hanya peringatan, akhirnya menjadi sikap dan kebencian. Aku tak habis pikir bagaimana orang-orang di sekeliling kami begitu mendukung Golkar. Tatapan matanya seolah melihat kami seperti makhluk asing. Aku benci dengan mereka, dengan para pegawai, dengan para guru, dengan warna kuning, dengan para menteri, dengan Soeharto, dan dengan gerakan dua jari berbentuk V yang menjadi simbol mereka. Aku muak melihat Wahono (Ketua Golkar) di TV, aku muntah melihat Harmoko.
Tapi masyarakat awam di sekitar kami tak hanya melihat kami bagai orang asing, tapi lebih dari penjahat. Kami yang tak mendukung Golkar dianggap anti pembangunan, anti kemajuan, pengkhianat bangsa dan serangkaian pandangan miring lainnya. Akses dalam forum sosial dihilangkan, tak bisa ikut dalam pertemuan RT, tak diajak di LKMD, Ayahku diberhentikan sebagai guru honor, bahkan tak diajak sebagai pengurus Mushalla. Padahal, beliaulah yang menghidupkan Mushalla yang tadinya hanya diam bak monumen bisu. Begitu mengentalnya cara pandang mereka, sehingga begitu mengeraslah kami.
Nenekku selalu menyuntikkan semangat keberanian melawan tirani untuk menunjuk Golkar. Ia sudah tua, umurnya waktu itu 70 tahun, tapi ia tak pernah takut dihalang badai. Pekerjaannya hanya penjual kacang tujin (kacang tanah yang digoreng). Kacang itu dalam kondisi masih panas ditaruh dibakul, diangkat ke atas kepala, diangkut menuju pasar. Kalau pasaran sedang lesu, ia ambil kerisik (daun pisang kering) di ladang dan dijual ke pasar sebagai pengganti plastik pembungkus. Kalau tak ada lagi yang bisa dijual, sisa beras di rumah dimasak jadi bubuk dengan gula aren, dibagi-bagi dalam gelas kecil, ditaruh di atas kursi di depan rumah kontrakan. Biasanya anak-anak akan datang menawar bubur itu. Lalu dimana kakek? Kakek kami penjual tembakau tradisional. Ia tak merokok, tapi terpaksa harus mencicipi setiap kiriman tembakau yang datang untuk quality control. Kakek sangat tergila-gila dengan diskusi. Warung kecilnya selalu penuh dengan teman-temannya, bukan untuk bebelanja, namun untuk berdiskusi. Jadi praktis beliau tak begitu mampu memenuhi kebutuhan. Namun, di sinilah saya jadi mengidolakan nenek. Ia begitu hebat menurut saya. Dengan kekurangan itu, ia masih mengurus Aisyiyyah, menjadikan rumah sebagai basis Aisyiyyah di kampung sehingga namanya masuk dalam daftar mangsa yang harus dihabisi PKI tahun 1965. Untung beliau selamat.
Semangat nenek tak pernah pudar. Ia shock jika suara PPP turun. Ia begitu ideologis walau tak pernah dan tak akan mendapatkan apa-apa dari ideologinya itu. Sampai matinya, nenek tak pernah punya rumah karena kakek sampai matinya tak pernah mampu mengumpulkan uang walau untuk membeli sepotong tanah pun. Nenek selalu menanamkan semangatnya yang membara pada kami. Semangat yang masuk ulu hatinya.
Semangat itulah yang ditularkan padaku. Akibatnya, berkali-kali aku berdebat dengan guru PPKN di SD karena ia salah menyebutkan urutan peserta pemilu. Dulu urutannya adalah PPP, Golkar dan PDI. Para guru yang terkekang Golkar itu –entah sengaja atau tidak- selalu menyebutkan nama Golkar terlebih dahulu dan mengemudiankan yang lain. Di beberapa kali kesempatan aku berdebat dengan guru agamaku bahwa Golkar adalah penyakit untuk bangsa ini. Aku memprotesnya kenapa diam saja dipaksa-paksa masuk Golkar dengan monoloyalitas. Ia malah mengacungkan dua jari sebagai simbol Golkar seraya menasehati sebagai anak SD tak usah ikut politik. Aku tak terima sehingga di masa kampanye 1992 aku berhasil mengumpulkan sekitar 15-20 orang teman. Kami berteriak-teriak di sekolah mendukung PPP dan menolak Golkar. Di masa itu, sekali lagi, tak mendukung Golkar adalah penjahat. Guru-guru marah, kecuali seorang. Guru yang seorang itu sebenarnya juga tak sepakat dengan monoloyalitas, tapi terpenjara oleh ke-PNS-annya.
Selama pemilu 1992 (usiaku masih 10 tahun lebih enam bulan) aku datang ke kampanye PPP. Bukan dikerahkan oleh orang PPP, tapi didorong oleh kebencianku pada Golkar. Aku melihat orang PPP sebagai orang baik, PDI relatif baik, sedangkan Golkar…cuih. Aku menyaksikan dengan sungguh-sungguh tak adilnya Pemilu. Aku melihat kantor-kantor tutup bila kampanye Golkar karena pegawainya harus ikut kampanye. Aku melihat warna tak lagi keindahan saat ibuku dipaksa mengganti kerudung hijaunya (walau tak ada hubungannya dengan PPP) dengan kuning. Aku marah kala tengah malam, tanda gambar bintang (lambang PPP) di depan rumahku diganti dengan tanda gambar Golkar atas perintah LKMD. Jahatkah kami karena tak mendukung Golkar?
Tepat di hari H pemungutan suara 1992, aku datang ke TPS, bukan untuk memilih karena belum punya hak pilih. Ini tontonan buatku. TPS dibuat di sebuah rumah yang belum jadi. Posisi bilik suara ditempatkan dalam bilik rumah itu sehingga tak bisa dilihat oleh semua. Kotak suara juga ada di dalam bilik. Tak bisa dilihat apalagi diawasi sehingga barisan calon pemilih lebih mirip antrian pasien yang menunggu dipanggil dokter ke ruang periksa. Saksi PPP ditolak dengan alasan telat dan semua petugas adalah pendukung Golkar. Saat penghitungan suara dengan mata kepala kusaksikan surat suara dimanipulasi. Jelas terlihat di mataku lubang di tanda gambar no. 1 (PPP), tapi petugas tetap menyebutkan "Dua" nomor urut Golkar. Begitu juga dengan suara PDI. Petugas menghitung sesukanya. Bahkan sebenarnya tanpa membuka surat suara pun tak apa-apa. Toh mereka sudah mensetting hasilnya sebelumnya. Aku ingin protes. Tapi aku hanya anak kecil tanpa hak suara. Semakin tertanam di hatiku sebuah tinta kebencian pada Golkar, orang Golkar dan antek-anteknya.
Terlalu letih aku bila terus menceritakan betapa lebih kejamnya pemilu 1997. HARi-hari oMOng KOsong (Harmoko) wara-wiri di semua Stasiun TV. Semua menyebutnya "Bung" dan dengan bangga mengendongnya dipunggung. Semua menteri turun untuk Golkar. Aku benci dengan Rhoma Irama dan Zainuddin MZ yang mendukung Golkar. Aku tak suka dengan Ali Yafie, Tuti Alawiyah yang menyeberang ke sana. Aku betul-betuk merasakan kebencian. Umurku kala itu baru 15 tahun lebih dan masih tak punya hak pilih. Belum lagi peristiwa hari H. Lebih parah dan menakutkan. Bagaimana mungkin, ada robek sebesar koin Rp. 100 di tanda gambar no. 1, tapi masih disebut sebagai no 2?
Lagi-lagi aku berdebat dengan guru PPKN (PMP) ku di MTsN. "Mengapa harus ada monoloyalitas? Mengapa Golkar tak disebut Partai, Mengapa kami harus ikut dalam lomba puisi yang didukung Golkar?". Nilai PPKN ku yang biasanya 9, jatuh jadi 7. Ternyata, guru PPKN ku itu isteri dari seorang fungsionaris Golkar. Aku sempat mengatakan padanya bahwa kursi DPRD yang diraih oleh caleg Golkar nomor sepatu adalah kursi haram karena suara itu didapatkan dari hasil kecurangan. Malangnya, ternyata suaminya jadi anggota DPRD dengan nomor sepatu sehingga statemenku bagai menohoknya tanpa basa-basi. Tapi aku juga punya keuntungan. Ada guru fresh graduate di MTsN. Umurnya masih sekitar 25 tahun. Ia tak bedaya ketika kuceramahi tentang politik Indonesia, tentang kejahatan Golkar dan Soeharto, tentang keharusan menyataan sikap, menantang monoloyalitas dan keberanian menegakkan keadilan. Semua peristiwa itu terjadi di ruang laboratorium fisika. Untunglah nilai fisikaku tak diturunkan. Belakangan aku tahu dari seorang teman, sang guru ketakutan dan hampir mencret mendengar kata-kataku.
Belakangan ini keterlibatan anak-anak dalam kampanye menjadi masalah. Alasan formalnya tentulah ketentuan perundang-undangan. Sebagai warga negara yang baik hal ini tentu harus dipatuhi. Namun demikian, tentulah ada cara berpikr yang secara substantif melatar balakanginya. Latar belakangnya, seperti sering diutarakan oleh banyak aktivis adalah bahwa belum saatnya anak-anak dilibatkan dalam dunia politik. Biarlah ia sebagai anak-anak bebas dengan dirinya tanpa diatur oleh berbagai aturan, nilai dan norma. Kerangka berpikir seperti inilah yang berkembang di banyak kalangan.
Namun demikian, ada perspektif dalam Islam yang berbeda menanggapi ini. Menurut Islam, hidup ini punya sumber, punya tujuan, punya arah dan punya cara. Semua sumber, cara, arah dan tujuan terikat dalam satu kerangka tauhid atau ketuhanan. Islam memandang hidup ini ada karena diadakan oleh yang Maha Ada sehingga ke-ada-an hidup ini adalah milik yang Maha Ada. Jadi hidup ini tak akan pernah ada tanpa kehendak yang Maha Ada. Yang Maha Ada, la yang menjadi sumber hidup. Oleh karena yang membuat kehidupan adalah yang Maha Ada, maka dia pula lah yang mengetahui maksud diadakannya "ada" tadi. Yang Maha Ada mengatakan maksudnya agar manusia menyembahnya dan menuju padanya. Hidup manusia diadakan untuk menuju padaNya. Konsekuesinya, Ia menurunkan seperangkat cara untuk menuju padanya. Inilah yang membuat Hidup dalam perpektif Islam jadi serius untuk sekedar dijadikan eksperimen atau dibiarkan mengalir bak air. Perbedaan antar generasi bukan hanya sekedar "lahir lebih dulu" tapi ia punya fungsi sebagai mata rantai dalam mentransmisikan seperangkat cara dari Tuhan kepada generasi berikutnya. Karena itu, sikap politik dalam perspektif ini tak terpisah dengan pesan Yang Maha Ada. Ia harus beralan di jalan Yang Maha Ada, dan membawa manusia menuju Yang Maha Ada. Tugas satu generasi adalah menanamkan hal ini pada generasi sesudahnya sedini mungkin.
Islam juga tak mengenal pembatasan usia untuk memahami sebuah persoalan. Islam mengenal hikmah atau kebijaksanaan yang dapat diperoleh oleh siapa saja. Beberapa bukti menunjukkan hal ini. Misalnya, Nabi Adam as yang lebih muda ketimbang malaikat, ternyata punya otoritas keilmuan di atas mereka sehingga menimbulkan kebencian Iblis. Atau saat tidak ada yang bisa memberikan putusan atas Yusuf dan Zulaikha, seorang bayi lah yang memberikan kebijaksanaan. Dalam surah Maryam : 12 dikatakan bahwa Nabi Yahya memperoleh Ilmu danHikmah semenjak masih kanak-kanak. Nabi Isa bahkan berkata-kata dan menyatakan diri sebagai nabi saat masih dalam ayunan. Kasus ini tak hanya terjadi di zaman sebelum Muhammad. Lihatlah Imam Muhammad Al-Jawad menerima otoritas ruhani dan otoritas politis sekaligus dari ayahnya Imam Ali-Ar-Ridha saat berumur delapan tahun, begitu juga dengan Imam Muhammad Al-Mahdi yang mewarisi otoritas tersebut dari ayahnya Imam Hasan Al-Askar saat masih berusia lima tahun.
Jadi, sebenarnya tiada masalah anak-anak ada dalam kampanye. Ini persoalan perspektif saja. Dalam perspektif bebas nilai (jangan dipahami bahwa perspektif ini benar-benar bebas nilai, sebenarnya perspektif ini sarat dengan nilai yang bernama "bebas nilai") anak-anak tak perlu diberi nilai apa pun. Sementara dalam perspektif Islam, nilai itu harus menyatu dalam diri sedini mungkin. Bahkan pendidikan dalam Islam tidak dimulai sejak lahir, tapi dimulai sejak proses pembuatannya, ketika seseorang mencari pasangan hidupnya.
0 Comments