Walaupun tidak setegas penjenjangan di Iran, terdapat penjenjangan tidak resmi dalam struktur keulamaan di Minangkabau. Biasanya, pemuka agama secara umum akan dipanggil Ustad. Panggilan ini lazim digunakan untuk mereka yang baru saja menyelesaikan derjah pendidikan keagamaan, atau mereka yang mungkin tidak melalui pendidikan formal keagamaan namun diakui oleh publik mempunyai kemampuan dasar keulamaan. Kemampuan ini meliputi konsistensi ibadah, kemampuan berceramah dan memimpin Shalat.
Setingkat di atas Ustad, adalah Buya. Buya berasal dari Bahasa Arab; Abu yang berarti Bapak/Ayah. Penambahan "ya" dibelakang Abu adalah penandaan posesif seperti akhiran "ku" dalam bahasa Indonesia atau "my" dalam Bahasa Inggris. Jadi secara harfiah, Abuya berarti "Ayahku". Almarhumah Nenek saya memanggil Ayahnya dengan panggilan Abuya. Namun kemudian karena proses akulturasi, Abuya berubah menjadi Buya.
Posisi Buya dalam derjah keagamaan di Sumatera Barat lebih terhormat dari pada Ustad. Tidak semua Ustad dipanggil Buya. Biasanya, panggilan Buya diberikan pada Ustad senior yang pengetahuan agamanya sudah diakui. Pendapat keagamaan seorang Buya lebih didengar ketimbang Ustad. Tidak ada mekanisme baku untuk pemberian sebutan ini, biasanya ia muncul begitu saja dari kebiasaan masyarakat. Sekadar untuk memberikan kriteria, biasanya seorang Buya telah teruji tidak saja karena kapabilitas keagamaannya, namun juga perjuangannya dalam melawan tantangan zamannya.
Posisi di atas Buya adalah Guru. Agak sulit menempatkan dimana posisi guru ini jika diukur dari jarak levelnya dibandingkan Buya. Saya pun tidak bisa membedakannya walau dapat merasakannya. Namun biasanya Guru adalah seorang Buya yang telah lebih tua dan banyak makan asam garam kehidupan. Seorang Guru biasanya dianggap mempunyai otoritas keagamaan di lingkungannya. Sederhananya, Guru adalah panggilan bagi Buya di lingkungan Muqallidnya.
Posisi teratas dalam hierarkhi ini adalah Syech. Posisi ini mensyaratkan berbagai kemampuan keilmuan yang mendalam. Tak banyak orang yang mencapai posisi ini. Bahkan setahu saya,tak satu pun living syech di Ranah Minang saat ini. Posisi Syech dicapai apabila seseorang telah menguasai ilmu agama, bijaksana, terbukti konsistensinya walau dalam cabaran dan dukaan, secara konsisten membina ummatnya dan tidak tunduk pada kekuasaan. Tokoh yang punya kapabilitas Syech ini misalnya Syech Yusuf Amrullah (Kakek HAMKA), Syech Abdul Karim Amrullah (Ayah HAMKA), Syech Djamil Djambek (Guru HATTA), Syech Abdurrahman (Kakek HATTA) dan masih banyak lagi. Namun adakalanya sesorang telah dianggap mencapai Maqam Syech, tapi masih dipanggil Buya karena kadung familiar dengan sebutan itu seperti Syech Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (HAMKA).
Panggilan Syech sebenarnya berasal dari Bahasa Arab yakni "Syaikh". Lebih kurang artinya adalah "orang tua". Oleh karena itu di Mingangkabau seorang Syech juga biasa dipanggil "Inyiak" yang artinya kurang lebih "Orang yang sangat tua sekali". Akan tetapi di Arab, panggilan Syaikh berkembang menjadi sebutan bagi kepala suku atau orang terhormat.
0 Comments