Morteza senang sekali. Maklum di tempat tinggal kami tak ada anak yang seumuran dengannya. Ada anak tetangga tapi rata-rata sudah pandai berkereta angin tanpa roda gandeng. Sementara Morteza masih berkereta angin dengan roda gandeng. Ada juga adik sepupunya tapi umurnya lebih muda. Masih berkereta roda tiga. Nah, Zaid datang dengan anaknya yang umurnya hanya berbeda beberapa kali terbit matahari dengan Morteza.
Zaid mengeluhkan macetnya Depok saat menuju ke rumah kami. Saya tertawa mendengar keluhannya.
"Ente sih datangnya akhir pekan, Depok mah macet kalau akhir pekan." Kata saya.
"Kalau hari kerja?"
"Tergantung." Kata saya, "pagi atau sore?"
"Kalau pagi?"
"Macet." Jawab saya.
"Kalau sore?" Zaid melanjutkan tanya
"Apalagi." Saya tertawa, Zaid pun tertawa, kami tertawa, semua tertawa.
Demikianlah, kemacetan menjadi musuh liburan. Apalagi bila dikombinasikan dengan hujan. Habislah kita
Karena alasan itulah, kami jarang berlibur. Akhir pekan dimanfaatkan dengan pekerjaan di rumah saja. Membereskan rumah dan bermain dengan anak. Eits, itu hanya aktifitas penyela. Aktifitas utama akhir pekan tak lain dan tak bukan ialah tidur.
***
Beberapa bulan yang lalu saya lewat di Situ Cilodong. Sepertinya situnya cukup terkelola. Saya lihat ada aktifitas rekreasi dan bersantai di sana. Yang lebih penting, jaraknya hanya 2-3 km dari rumah. Saya kira cukuplah untuk liburan ringan dengan keluarga. Namun entah mengapa, berkali-kali rencana ke sana selalu gagal. Terutama karena cuaca yang tak menentu. Maka hari Minggu kemarin, saya bertekad dengan bulat lagi kuat untuk mengajak anaknya istri saya dan ibunya anak saya ke sana.
Sesampai di sana, kami tak menemukan penjual karcis masuk. Agak bingung juga bagaimana cara masuk tanpa karcis hingga kemudian saya tersadar bahwa untuk masuk hanya butuh bergerak ke dalam, karcis tak persoalan. Masuklah kami berkeliling situ yang tak besar itu.
Di sekeliling situ berjejer para pemancing ikan. Air situ tak jernih tapi lumayanlah. Di tengahnya ada teratai yang tak berbunga. Seluruh pinggiran situ sudah diturab dengan semen. Pada beberapa titik terdapat kawanan rumput tempat sedimentasi sesampahan (bener gak ini istilahnya) hasil perbuatan tangan-tangan manusia. Di salah satu sisi, terdapat stasiun sepeda air.
"Sepuluh ribu," kata penjaganya ketika saya tanya harga sewa sepeda air.
"Untuk berapa lama?" Tanya saya.
"Dua puluh menit. Tapi kalau masih kosong ya pakai aja sepuasnya," Kata penjaganya.
Asyik juga nih. Apalagi tak ramai. Saya rasa tak akan ada yang menyewa sepeda yang sama dalam rentang waktu 20 menit ke depan. Itu artinya akan ada waktu yang tak dibayar alias gratis. Kencang selera saya berlari mengejar kegratisan ini.
Kami naik, Morteza bersikeras menjadi driver penarik tuas kemudi dan kami menjadi tukang kayuh. Ya Tuhan, apakah dosaku mendapatkan driver tak berpengalaman dan tak berlisensi ini?
Atap sepeda air kecil saja, sekedar penjawab tanya dari pada tiada. Dan ini sepertinya menjadi alasan mengapa kulit kami serasa terpanggang. Panas. Alamak, orang berjemur di Pantai Kuta Bali, kita terjemur di Situ Cilodong.
Demikianlah, tak sampai 20 menit, kulit makin menderita terpapar Sang Surya. Barangkali Resi Wiyasa benar, hanya Karna yang mampu menatap mentari, sementara kami : terbakar.
Kami menepi, naik ke daratan sementara Morteza masih hendak melanjutkan petualangan dengan sepeda air. Saya sudah tak kuat. Selain panas, saya takut air sebenarnya.
Kami pulang dengan senang. Bukan karena liburannya, tapi karena saya hanya keluar uang Rp. 10.000 untuk keseruan hari itu. Bayar murah untuk liburan di situ yang tak terlalu wah.
Benar-benar libur kecil kaum kusam.
0 Comments