"Kita sudah tertinggal jauh, Sayang." Ucap Yudi lirih kepada istrinya.
Pandangannya nanar ke depan. Dicobanya menegakkan punggung di sandaran kursi yang berada di teras rumahnya. Tapi itu tak menolong. Matanya tetap kosong menatap sayu ke arah dedaunan tua yang mulai gugur hanyut bersama aliran sungai kecil tepat di seberang rumah.
"Sabar, tak perlu sedih merasa tertinggal. Ndak ada yang bisa didapatkan dengan perasaan itu." Istrinya berusaha menenangkan. "Rasa tertinggal itu hanya muncul karena harap." Lanjutnya setengah berfilsafat.
Tetapi mata Yudi tetap nanar. Ia tatap kilatan-kilatan dari butir-butir air sungai kecil yang pecah saat menghantam bebatuan. Warnanya berseri diterpa cahaya matahari, bak pelangi.
"Lihat kilatan itu, indah bukan?" Istrinya bertanya. "Dan kilatan itu dapat kita nikmati sepanjang waktu tanpa membayar. Untuk apa mencari yang berbayar jika kita dapat menikmati yang gratis?"
Lagi-lagi Yudi hanya diam, seolah tak mendengar kata-kata istrinya.
"Yah, ayah !" Istrinya memanggil untuk memastikan pikiran suaminya tak melayang-layang.
"Tapi kita tetap tertinggal. Kita bahkan tak tahu apa yang sedang dinikmati orang-orang."
"Lalu apa masalahnya? Kita tak punya urusan dengan kenikmatan orang lain kan?" Istrinya mulai sebel.
"Iya, tapi aku tak punya satu biji pun !"
"Ayah bicara apa sih?" Istrinya bingung dengan arah pembicaraan
"Lah, dari tadi Ibu ngomongin apa?" Yudi bertanya
"Tentang harapan-harapan, cita-cita dan keinginan. Lah ayah lagi ngelamunin apa emangnya? Ketinggalan apa?" Istrinya balik bertanya
Lirih Yudi menjawab "Batu Akik"
Istrinya tepok jidat.
*senja dekat kerumunan orang berburu akik. *ekspresi orang yang tak kenal dunia per-akik-an.
Sumber gambar : CNNIndonesia
0 Comments