Dalam dialog di ILC Prof Azyumardi Azra menceritakan pada suatu hari di salah satu negara Arab dia dilarang ikut sembahyang berjamaah di Mesjid. Orang sana menganggap dia menggunakan pakaian menyerupai pakaian perempuan karena ada motif bunga-bunga. Padahal motif yang dimaksud bunga-bunga itu adalah motif batik yang biasa kita pakai. Saat itu Prof Azyumardi menjelaskan bahwa baju yang dipakai orang Arab itu kalau dibawa ke Padang Panjang juga akan dianggap baju perempuan karena mirip sekali dengan baju kurung. Maka dia akhirnya diizinkan turut sembahyang.
Di sebuah novel yang berlatar Iran saya baca bahwa di sana orang Indonesia dianggap tidak sopan bila sembahyang menggunakan kain sarung karena dianggap sebagai perlengkapan mandi. Sementara di negeri kita kain sarung adalah pakaian sembahyang.
Demikianlah bahwa saat yang universal berinteraksi dengan yang lokal, ia akan mengalami dialektika dan tak jarang akan saling meminjam simbol dengan makna baru.
Kain sarung, baju koko, kopiah, kubah, dan menara adalah simbol-simbol yang tidak substantif tapi diadopsi ketika berinteraksi dengan yang substantif tadi.
Begitu pula ritual-ritual yang sebenarnya tak diajarkan tapi kemudian hadir sebagai pengaya makna dalam konteks lokalnya. Kita mengenal upacara sunat rasul (orang arab hanya tahu khitan, tanpa upacara), walimatus shafar, maulid, kalau di Payakumbuh ada mambato kuburan, dll.
Interaksi terjadi pula pada aspek bahasa. Kita mengenal kata Sembahyang, Puasa, Pahala, Dosa, Siksa, Surga, Neraka, Kiyai, Tuanku, dll yang tak ada di bahasa arab tapi kita anggap sebagai bahasa yang berdimensi religius.
Apakah kelokalan itu hanya khas kita di Nusantara? Ternyata tidak. Beberapa hari yang lalu saya menonton dokumenter kehidupan orang Islam di Maroko, Uzbekistan dan beberapa negara lain. Ternyata di sana juga ada yang demikian itu. Ketika seorang anak sunat rasul, si Ibu berangkat ke saluran air membuang potongan hasil sunat rasul sebagai perlambang si anak memasuki gerbang baru menjadi muslim baru dan menghanyutkan masa lalu sebagai kanak-kanak.
Jadi, interaksi antara yang lokal dengan yang universal itu menghasilkan ekspresi-ekspresi unik yang khas masyarakat lokal dimana ekspresi itu muncul.
Demikianlah bahwa saat yang universal berinteraksi dengan yang lokal, ia akan mengalami dialektika dan tak jarang akan saling meminjam simbol dengan makna baru.
Kain sarung, baju koko, kopiah, kubah, dan menara adalah simbol-simbol yang tidak substantif tapi diadopsi ketika berinteraksi dengan yang substantif tadi.
Begitu pula ritual-ritual yang sebenarnya tak diajarkan tapi kemudian hadir sebagai pengaya makna dalam konteks lokalnya. Kita mengenal upacara sunat rasul (orang arab hanya tahu khitan, tanpa upacara), walimatus shafar, maulid, kalau di Payakumbuh ada mambato kuburan, dll.
Interaksi terjadi pula pada aspek bahasa. Kita mengenal kata Sembahyang, Puasa, Pahala, Dosa, Siksa, Surga, Neraka, Kiyai, Tuanku, dll yang tak ada di bahasa arab tapi kita anggap sebagai bahasa yang berdimensi religius.
Apakah kelokalan itu hanya khas kita di Nusantara? Ternyata tidak. Beberapa hari yang lalu saya menonton dokumenter kehidupan orang Islam di Maroko, Uzbekistan dan beberapa negara lain. Ternyata di sana juga ada yang demikian itu. Ketika seorang anak sunat rasul, si Ibu berangkat ke saluran air membuang potongan hasil sunat rasul sebagai perlambang si anak memasuki gerbang baru menjadi muslim baru dan menghanyutkan masa lalu sebagai kanak-kanak.
Jadi, interaksi antara yang lokal dengan yang universal itu menghasilkan ekspresi-ekspresi unik yang khas masyarakat lokal dimana ekspresi itu muncul.
Sumber gambar : Liputan6
0 Comments