Beberapa tahun lalu saya diminta seorang teman untuk mereview literatur konflik di Maluku Utara. Karena hanya review, saya tak turut melihat langsung ke lapangan. Hanya membaca beberapa literatur yang sudah ada.
Beruntung setahun setelahnya saya dapat tugas program penelitian ke Maluku Utara untuk tema yang berbeda sebanyak tiga kali. Meskipun berbeda, saya berkesempatan berkomunikasi dengan warga mantan konflik.
Saya menginap di rumah Fanyira Kadato -semacam kepala wilayah- Kedaton Kesultanan Ternate. Dengan beliau saya berkesempatan bersembang beberapa hari hingga diantar berkunjung ke Kedaton, benteng-benteng dan snorkling di Sulamadaha. Corak pandang Bapak Fanyira Kadato mewakili sudut pandang masyarakat adat Kesultanan Ternate yang berada di belakang Jou Alam Ma Kolano Sultan Mudaffar Sjah II.
Saya juga berkesempatan berjumpa dengan sahabat dari Tidore. Dia berasal dari salah satu marga cukup terpandang di sana meskipun tidak termasuk dalam marga yang empat. FYI, di Tidore ada 4 marga yang berhak mengajukan salah satu anggotanya menjadi kandidat Sultan Tidore. Keempat marga disebut Folaraha yaitu Fola Akesahu, Fola Rum, Fola Bagus dan Fola Yade. Dari kawan Tidore saya belajar konflik Maluku Utara melalui kacamata orang Tidore.
Saya juga berkesempatan berjumpa dengan orang-orang Makian. Makian ini adalah sebuah pulau bergunung api di Moloku Kie Raha. Pada tahun 70-an pemerintah mengosongkan pulau ini karena dianggap tidak aman sehubungan dengan aktifitas gunung api di sana. Warga Makian ditransmigrasikan ke wilayah Malifut Teluk Kao. Jumlahnya sekitar 26 desa -saya agak lupa detailnya apakah 16 atau 26 desa.
Agak mudah menemui orang Makian di Maluku Utara karena sejak dahulu suku ini gandrung pada pendidikan. Anggota suku ini -karena tingkat pendidikannya- mempunyai akses besar untuk menjadi aparat pendidikan, birokrasi dan politikus di Maluku Utara. Walikota Ternate, Rektor Univ Khairun, aparat daerah banyak diisi orang Makian. Pun di dunia usaha, kabarnya banyak juga diisi orang Makian. Dari mereka saya mendengarkan cerita tentang konflik dari sudut pandang orang Makian.
Tentu agak panjang bila saya menceritakan versi masing-masing. Orang Ternate punya cerita, orang Tidore dan Makian pun demikian. Masing-masing merasa telah menjadi korban dari konflik Maluku Utara.
Tapi ada satu hal yang saya tangkap dari cerita mereka. Bahwa mereka lelah, menderita, dan sama-sama menjadi korban konflik itu. Luka menganga di jiwa mereka dan tak ingin konflik itu terulang lagi.
Sementara di sudut lain nun jauh di sana, ribuan kilometer dari Moloku Kie Raha, masih ada saudara kita yang membara dengan cerita konflik Maluku Utara. Darah masih panas dan menggelora dengan semangat menyala. Terkadang dilapisi semangat perjuangan suci.
Saat ini, terjadi rusuh di Tolikara.
Seperti demikian juga, barangkali mereka yang ada di Papua akan sangat berhati-hati sekali agar konflik ini tak membesar. Bagaimanapun mereka juga yang akan jadi korban bila konflik itu meledak. Konflik Maluku cukuplah menjadi pelajaran.
Sementara mereka yang jauhnya ribuan kilometer dari Papua ada yang terus saja menggelorakan amarah tanpa sadar bahwa bila konflik meledak bukan mereka yang jadi korban. Orang Papua-lah (apapun agamanya) yang akan menderita. Secara khusus bila konflik pecah kaum minoritas di sanalah yang lebih rentan menjadi korban. Kebetulan minoritasnya adalah Muslim. Tentu bukan itu yang kita inginkan.
Sebagian -bahkan sebagian besar barangkali- tukang kipas berjarak ribuan kilometer itu mungkin tak akan pernah benar-benar berani merasakan derita itu. Bagian terbesarnya paling-paling hanya akan kembali berjuang di level keypad saja : Menghunus jempol membuat status sambil leyeh-leyeh di atas kasur atau kursi nyaman dengan smartphone menggunakan wifi gratis.
Sesekali mungkin sharing nomor rekening untuk sumbangan. Lalu kembali ke aktifitas normal mereka.
Timbang-timbang betullah.
Sumber Gambar : Xebrio
0 Comments