Sejatinya Pangeran Mustafa adalah putra tertua Raja Sulaiman I dari Ottoman (1520-1566 M). Raja kesepuluh ini dianggap sebagai sebagai yang tersukses di antara seluruh raja-raja Ottoman sekaligus yang terlama berkuasa. Pangeran Mustafa dilahirkan pada saat Sulaiman masih seorang Pangeran dari Mahidevran, istri pertamanya. Setelah diangkat menjadi Raja, Sulaiman menikahi budak dari Crimea bernama Hurrem yang melahirkan Pangeran Selim, Bayazid dan Cihangir.
Sebagian besar rakyat Ottoman menduga bahwa Mustafa akan menjadi pewaris tahta Ottoman karena ia putra tertua dan dianggap mempunyai kompetensi untuk itu. Selain itu sosok Mustafa juga popular di kalangan tentara Janisari dan rakyat jelata. Meskipun sebenarnya Ottoman tidak mempunyai sistem suksesi yang jelas. Biasanya apabila seorang Raja mangkat, para pangeran akan bersaing dan saling membunuh untuk dapat menduduki tahta. Kebiasaan ini berlanjut hingga zaman Raja Ahmed I (1603-1617) yang menyisakan satu adiknya tetap diizinkan hidup karena dianggap terlalu muda. Setelah periode Ahmed I, saudara-saudara Raja tidak lagi dibunuh tapi ditempatkan di satu tempat khusus semacam penjara mewah (Kafes) yang tidak memberi ruang mereka untuk melakukan oposisi pada Raja. Sistem suksesi diubah menjadi agnatic seniority.
Kembali ke Pangeran Mustafa, putri Hurrem merasa cemas akan masa depan tiga putranya (Selim, Bayezid, Cihangir) yang sesuai kebiasaan akan dieksekusi dengan cara dicekik apabila Mustafa naik tahta. Maka muncullah intrik-intrik istana yang pada akhirnya berujung pada eksekusi mati Mustafa atas perintah Raja Sulaiman I -ayahnya sendiri. Kematian Mustafa berarti membuka peluang untuk putra-putra Hurrem naik tahta. Belakangan, Cihangir meninggal karena sedih atas eksekusi Mustafa sementara Selim dan Bayazid berperang. Bayazid dieksekusi mati dengan cara dicekik atas perintah -lagi-lagi- Raja Sulaiman I, ayahnya sendiri. Salim menjadi satu-satunya putra Sulaiman yang bertahan hidup dan akhirnya menggantikannya sebagai Raja Ottoman.
Selim II saat berkuasa dianggap sebagai raja yang tak sebanding dengan Sulaiman. Secara karakter dianggap bermasalah dan secara kinerja dianggap menjadi biang menurunnya kejayaan Ottoman hingga menjadi The Sick Man in Europe. Maka muncullah alternate history yang mencoba membandingkan Selim II dengan Mustafa. Apa yang akan terjadi bila Mustafa tak dibunuh? Boleh jadi dengan kompetensinya Mustafa akan membuat nyawa Ottoman lebih panjang daripada kenyataan saat ini dimana Ottoman runtuh pada 1922-1923.
Tapi ada satu pendapat yang menarik. Katanya tidaklah adil membandingkan Selim yang bertahta dengan Mustafa yang mati muda. Yang satu menjadi Raja, yang satu telah kalah dalam intrik persaingan untuk menjadi raja yang berujung pada kematiannya. Salim dapat dinilai kinerjanya sementara kinerja Mustafa hanyalah asumsi "jika ia jadi raja".
Bagaimanapun juga Selim membuktikan dirinya lebih lihai daripada Mustafa dalam berstrategi. Dia dapat meliuk-liuk antara persepsi Raja Sulaiman dan hasrat-hasrat pribadinya sendiri. Ia lebih awas terhadap ancaman-ancaman di sekitar dirinya. Selim ketika bertahta berhadapan dengan tantangan dan situasi nyata dimana ia harus menari antara kepentingan-kepentingan pribadinya, dinastinya, penjilatnya, musuh-musuhnya, dan rakyatnya. Dalam menari itu dia bisa salah, tergelincir, terjerembab atau terperosok. Semua tantangan itu tentu tak dihadapi oleh Mustafa yang dalam sudah tewas dalam tarian-tarian sebelumnya.
Menurut saya demikian jugalah adanya jika memperbandingkan hal-hal lain seperti membandingkan antara Ketua dan calon ketua yang kalah, atau seperti membandingkan antara Presiden Jokowi dan Bapak Prabowo. Yang satu menjadi presiden sementara yang satunya adalah calon presiden yang kalah. Yang satu dapat dinilai kinerja kepresidenannya, yang satunya hanya dapat diasumsikan saja. Entah iya entah tidak, entah.
2 Comments
mantaps boss.hidup jokowi
ReplyDeletehiduuup :)
ReplyDelete