dari FB Dian Santoso |
Saya lupa kapan persisnya mengenalnya. Mungkin sekitar tahun 1997. Ketika itu saya kelas 1 MAN sementara Dian sudah tamat SMEA dan belum melanjutkan studi. Kelak tahun 1999 Dian baru melanjutkan kuliah.
Dian yang saya kenal orangnya bersemangat. Kesukaannya pada hal-hal yang berbau kreatifitas dan kesenian. Suatu waktu dia datang ke posko aktifitas kami. Tergopoh-gopoh -untuk tidak menyebut tergesa-gesa, Dian menawarkan diri mengelola majalah dinding (mading) yang sudah setahun tak terurus. Saya mengiyakan. Dia lalu balik kanan.
Beberapa jam kemudian Dian datang dengan terengah-engah. Bermandi keringat turun dari sepeda yang terlalu mini untuk perempuan memakai rok panjang. Peluh terlihat bercucuran di mukanya, campuran bekas energi mengayuh dan debaran untuk segera mengisi mading. Di tangannya terhunus gunting dan beberapa edisi majalah lama. Sigap ia potong bagian-bagian menarik dari majalah itu, dan : Taraaa... potongan itu menempel di mading. Mading kami hidup lagi.
Instan memang. Tapi lebih baik dari pada tidak.
Tak lama kemudian ada reshuffle kepengurusan. Saat itu Sekretaris Umum harus pindah ke lain kota. Dian mengusulkan saya sebagai pengganti. Saya balik usulkan Dian jadi biro penerbitan. Tugasnya menerbitkan mading. Simpel.
Dian menyukai seni puisi. Karenanya kata-katanya kadang berbuai-buai. Saya agak heran mengapa ia kuliah di jurusan ilmu hukum yang butuh kata-kata patah-patah.
Adakalanya saya tak begitu sejalan dengan Dian. Maklumlah, sebagai orang yang punya jiwa seni Dian menggunakan otak kanan. Dia melompat-lompat dengan kreatifitasnya. Kalau dia ada ide, langsung dieksekusi. Dian tak terbebani bagaimana cara eksekusi ide, dan bagaimana agar ide itu sustainable atawa berkelanjutan. Dunianya ceria. Sementara saya cenderung berotak kiri. Kerja harus terpola, tersusun, terencana. Kalau tak terpikir kelanjutannya, mending diulas lagi. Mungkin karena itu saya selalu didapuk jadi sekretaris.
Meski begitu, Dian tak merasa terganggu olah saya. Pernah dia datang hampir tengah malam. Mengantarkan selembar puisi dan sebuah diari kecil. Hari itu saya ulang tahun. Katanya ini hadiah dari Uni. Padahal saya tak peduli dengan hari ulang tahun itu.
Dasar saya orangnya dingin, itu diari bukannya saya isi dengan catatan harian malah saya jadikan sebagai buku notulen rapat-rapat organisasi.
Dian bangga bercerita tentang dirinya yang cuek. Seperti tak taat aturan. Dia bercerita saat ikut training organisasi kami yang kebetulan organisasi Islam ia dengan demonstratif menggerai-geraikan rambut panjangnya. Tapi itu dulu ketika masih SMA. Belakangan ia malah berjilbab lebar seperti anak-anak harakah. Walau berpakaian ala anak harakah, Dian tetaplah Dian. Secara pergaulan tetap cair tertawa renyah. Semua kalangan dia pergauli.
Pernah di posko kami iseng menyanyikan lagu nasyid. Saat itu Nasyid sedang tren. Ada Qatrunnada, Hijazz, Raihan, Snada, untuk menyebut beberapa nama. Suara saya tak layak tayang bernyanyi. Satu demi satu kawan menyingkir menghindari serbuan suara yang tak enak didengar. Saya tak peduli. Tetap saja saya bernyanyi dengan semangat. Ketika semua teman melipir ke ruang tengah atau ruang komputer, Dian tetap menemani. Tepat di saat kami tinggal berdua di ruang tamu posko, beberapa alumni datang. Mereka menatap kami dengan kepala miring ke kiri. Saya terdiam lalu memiringkan kepala ke kanan. Mungkin mereka mulai berpikir bahwa kami hanya bernyanyi berdua. Padahal tidak. Tadinya kami ramai, lalu ditinggalkan.
Sejak Dian lulus kuliah, sepertinya kami tak pernah lagi bertatap muka. Hanya sesekali saya lihat statusnya di Facebook dan bertemu juga di grup Whatsapp alumni organisasi.
Dian terus menulis potongan-potongan puisi. Tak jarang saya temukan serpihan bait-baitnya di catatan teman-teman. Tak henti Dian merangkai kata.
Saya perhatikan selama Agustus 2015 ini, ia agak sering me-like status FB saya. Hanya like saja, tidak komentar. Saya pun diam saja. Maklum di HP jadul saya susah sekali memention orang.
Hingga pada 30 Agustus 2015 pagi sekilas saya temukan sebuah screen capture di FB. Ada yang mengucap duka untuk kepergian Dian. Saya tak percaya. Sembari menanti kabar yang pasti, saya terus memupuk ketakpercayaan itu.
Tapi apa mau dikata. Dian pergi.
Cepat sekali tanpa aba-aba.
Selamat Jalan Ni Dian. Semoga Husnul Khatimah. Buatlah lagi puisi-puisi di sana. Jangan padam !!
4 Comments
Turut berduka cita, ayah. Tak terasa meleleh mata ini membaca tulisan ayah. Meski tak kenal, saya haturkan salam untuk uni Dian. Semoga uni makin berbahagia di alam sana.
ReplyDeleteTerima kasih bu
ReplyDeleteSemoga beliau bahagia di sana
Nice, izin bercoment ya pak.
ReplyDeletekebetulan saya tetangganya, almarhumah orgnya ceria, tawanya menggelegar. Terkadang bicara yg ceplas ceplos, yg tdk mengerti alm akan sakit hati.
Satu hal yg selalu kukenang alm selama hidupnya, tidak menyimpan dendam. Kalau dicuekin, pasti alm akan selalu menegurnya sampai, yg nyuekin alm akhirnya luluh.
Terakhir, saya melihat alm dengan jilbab hitam barunya dan baju hitam motif putih. Lantas, setelah 2 hari alm tak nampak seperti biasanya sore lewat bersama zetto, saya kira sudah ke Jogyakarta tempat mertuanya. Ternyata alm dirumah sakit, dan malam itu, dengan terkaget kaget ... suami saya yg kebetulan diluar, melihat org rame menuju kerumah bunda, dia bilang, " de, bunda meninggal", langsung saya lompat dr tempat tidur, sambil teriak, bukannya bunda ke jogja. Saya lihat ibu ibu sdh pada rame diluar. Berkerumun, bercerita semua tentang Bunda. Tak sempat saya melihatnya , karena langsung dirujuk ke RSOB, semalam dan pagi sdh lgsg diterbangkan kekampung halamannya. Selamat jalan Bunda. Damailah disana.
Terima Kasih telah berjunjung Mbak. Ya Demikianlah beliau, ceria, tanpa beban. Tak peduli kalau orang cuek dan tak merasa kalah bila harus terus memberi perhatian pada yang cuek padannya.
DeleteMbak tetangga di Batam ya?