Artis yang juga penceramah Oki Setiana Dewi menjadi buah bibir netizen beberapa hari belakangan. Sebabnya sebuah video tiktok yang berisi potongan ceramahnya dua tahun yang lalu tular di media sosial.
Di dalam video itu Oki menceritakan sebuah cerita yang menurutnya adalah kisah nyata di Jeddah. Isinya tentang seorang istri yang menutupi aib suaminya yang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Si suami menampar istri namun si istri tidak menceritakannya kepada orang lain. Melihat usaha si istri menutupi aibnya itu, si suami tersadar akan kesalahannya. Itulah hikmahnya menjaga aib suami. Dan mereka pun berbahagia selamanya. Happy ending.
Namun netizen tidak puas dengan ending cerita itu. Mereka tidak terima dengan alur cerita yang disampaikan Oki. Bagi mereka, aib suami sebagai pelaku KDRT tidak boleh ditutupi. Istri harus melaporkan suami kepada pihak yang berwenang dan sang suami layak diceraikan.
Oki pun dirisak. Rekam jejaknya digitalnya dibongkar. Watak "Fear Of Missing Out" netizen kita membuat perisakan meluas kepada tema-tema yang tidak berkaitan dengan isi ceramah tersebut. Foto-foto lama, tarif ceramah, kualifikasi pendidikan, hingga gosip seputarnya yang tidak berkaitan diangkat kembali. Ia dianggap tidak punya otoritas untuk berbicara agama meskipun sebenarnya ia sudah meraih gelar Doktor di UIN Jakarta dan sedang studi Doktor keduanya di PTIQ. Ia juga mempunyai sanad qiraah yang didapatkan secara talaqqi dengan beberapa ulama qiraat. Dalam hal ini, -sorry to say- ia jauh lebih baik daripada kebanyakan netizen yang merisaknya.
Oki pun dirisak. Rekam jejaknya digitalnya dibongkar. Watak "Fear Of Missing Out" netizen kita membuat perisakan meluas kepada tema-tema yang tidak berkaitan dengan isi ceramah tersebut. Foto-foto lama, tarif ceramah, kualifikasi pendidikan, hingga gosip seputarnya yang tidak berkaitan diangkat kembali. Ia dianggap tidak punya otoritas untuk berbicara agama meskipun sebenarnya ia sudah meraih gelar Doktor di UIN Jakarta dan sedang studi Doktor keduanya di PTIQ. Ia juga mempunyai sanad qiraah yang didapatkan secara talaqqi dengan beberapa ulama qiraat. Dalam hal ini, -sorry to say- ia jauh lebih baik daripada kebanyakan netizen yang merisaknya.
Menanggapi potongan ceramah Oki, berbagai analisis tentang KDRT muncul di jagad maya. Akan tetapi sebagian orang mentok pada diskursus tentang status KDRT. Apakah KDRT boleh atau tidak? Apakah KDRT itu kejahatan atau bukan? Dan melalui beragam dalil, simpulannya ialah bahwa KDRT adalah kejahatan, dan -entah bagaimana lompatan pemikirannya- tiba-tiba sampai pada kesimpulan bahwa Oki pendukung KDRT.
Padahal, diskursus Oki sebenarnya bukan soal apakah KDRT itu benar atau salah. KDRT tentu salah. Bahkan ketika Oki menyebutnya aib, itu sudah menjadi konfirmasi bahwa Oki pun menganggap KDRT itu buruk dan salah. Di sini clear sih sebenarnya.
Yang selanjutnya patut menjadi diskursus adalah apakah hanya tersedia satu cara tunggal untuk menyelesaikan kasus KDRT yaitu dengan cara melaporkan si pelaku lalu selanjutnya bercerai? Apakah melaporkan pasangan yang melakukan KDRT adalah satu-satunya solusi dan tidak dimungkinkan adanya solusi lain? Dan seberapa kadar KDRT yang masih bisa ditangani tanpa perlu melaporkannya?
Saya tidak mengenal Oki. Dan tidak berminat dengan cara beragamanya. Apalagi politiknya. Namun dalam hal ini saya kira apa yang dikatakan Oki itu sah-sah saja sebagai salah satu opsi dalam menghadapi kekerasan dalam rumah tangga.
Perhatikan cerita Oki. Si istri ditampar suaminya dan menangis. Ketika Ibu mertua datang, ia melihat anak perempuannya sedang menangis. Dan si ibu bisa dibohongi oleh anaknya yang mengaku menangis karena rindu ibunya. Artinya apa? Artinya tamparan itu tidak keras. Sekiranya kadar tamparan itu keras tentu si ibu akan melihat bekas tamparan itu sehingga ia tidak dapat dibohongi.
Barangkali untuk kadar kekerasan seperti di dalam cerita Oki itu, cara yang digunakan si istri itu lebih baik dari pada cara melaporkan seperti yang diinginkan oleh 'kaum terpelajar' yang heboh di dunia maya ini. Karena ketika melaporkan artinya ia sudah siap menghadapi front terbuka. Front terbuka hanya memberikan salah satu dari dua pilihan : menang atau kalah. Konsekuensinya akan terjadi konflik yang lebih vulgar. Ancamannya adalah keutuhan rumah tangga. Efek lanjutan dari rumah tangga yang hancur bisa macam-macam. Tak hanya efek psikologis tetapi juga dampak ekonomi dan sosial.
Kita kadang berhadapan dengan segolongan kaum terpelajar yang bersudut pandang sempit yang tidak siap menerima ragam cara orang dalam mengatasi masalahnya. Maunya semua orang harus menyelesaikan masalah dengan satu solusi tunggal saja yakni solusi ala dia. Semua mesti ikut, tidak ada pilihan lain. Yang tidak ikut, kalau tidak bodoh ya jahat.
Ya seperti kasus Oki ini. Bagi mereka, tidak boleh ada cara lain yang absah selain dengan cara melaporkan tindak KDRT kepada pihak yang berwenang. Bahkan, "sekecil apapun KDRT tidak boleh dimaafkan." Dan siapa saja yang mengambil jalan selain jalan itu dianggap sebagai pendukung KDRT. Padahal, masalah di dalam berumah-tangga tidak sesederhana itu. Tiap orang mungkin pernah punya kesalahan. Dan tiap orang layak diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Termasuk pasangan yang pernah melakukan KDRT dalam batas kadar tertentu.
Ada sebagian orang yang menganggap cara konfrontatif sebagai satu-satunya cara. Cara itu adalah cara yang dapat diibaratkan sebagai "sedang sama-sama menumpahkan beras." Sama-sama rugi. Yang untung adalah ayam orang. Dan kalaupun kasus itu berlanjut, yang kalah dan yang menang akan sama-sama hangus. Yang satu jadi arang, yang satu jadi abu. Apalagi kalau ada anak, begitu bercerai si anak akan kehilangan keutuhan kasih sayang dan pengasuhan salah satu atau bahkan kedua-dua orang tuanya.
Ketika rumah tanggamu hancur, anakmu terlantar, apakah provokator yang bias kelas menengah dan sudah memprovokasimu untuk menumpahkan beras itu akan bertanggung jawab membelikanmu beras yang baru?
Jangan-jangan mereka juga masih memikirkan periuk nasi mereka sendiri atau mungkin sedang menyusun proposal yang baru untuk program yang baru pula. Justru kamu sendirilah yang harus menanggung beban akibat terlanjur menuruti kehendak mereka. Bak kata orang tua-tua, "sepandai-pandai mencincang, landasan juga yang akan habis."
Bicarakan baik-baik masalahmu dengan pasanganmu. Sepanjang masih bisa dibicarakan, bicarakanlah. Tak perlu meruyak-ruyakkan luka. Selesaikan seperti menarik rambut dari tepung. Rambut tidak putus, tepung tidak terserak. Pelaporan dan perpisahan hanyalah jalan terakhir ketika kadar kekerasan itu sudah pada tingkat yang sudah tidak dapat diperbaiki.
Percayalah, kelas menengah ngehek yang sudah memprovokasimu untuk melaporkan dan bercerai dengan pasanganmu itu tidak akan mendampingimu selamanya. Begitu kasusmu mulai sepi dari pemberitaan, mereka pun pelan-pelan akan melupakanmu. Tinggallah kamu sendirian melihat kenyataan bahwa kamu sudah kehilangan banyak hal hanya karena sebuah konflik kecil yang dilebih-lebihkan.
"Kita suka lebay," Kata Oki.
"Kita suka lebay," Kata Oki.
Sumber gambar : IDN Times
0 Comments