Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengumumkan logo halal yang baru dan menyatakan bahwa logo halal lama yang dikeluarkan oleh MUI tidak berlaku lagi. Peralihan ini menyusul peralihan otoritas labelisasi / sertifikasi halal dari MUI ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Sebagian orang menanggapi peralihan itu sebagai bentuk perlawanan kepada MUI. Para netizen oposisi biasanya menganggapnya sebagai bukti bahwa rezim ini lancang pada Islam. Sebaliknya para netizen pendukung pemerintah menganggap peralihan ini sebagai keberanian pemerintah membuat terobosan.
Padahal ini tidak ada kaitannya dengan kelancangan maupun keberanian. Peralihan itu bukan barang yang tiba-tiba. Ia sudah dimulai sejak diundangkannya UU Jaminan Produk Halal (JPH) No. 33 Tahun 2014 saat itu presidennya masih SBY. Sehingga apa yang diumumkan oleh Menteri Agama itu tak lain hanyalah implementasi amanat UU tersebut.
Lalu sebagian netizen menyangka bahwa dengan peralihan ini, MUI tidak lagi berperan. Justru persangkaan itu keliru. UU JPH malah menguatkan posisi MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa halal. Setiap produk yang ingin mendapatkan sertifikat halal harus mendapatkan fatwa halal dari MUI. Kemudian atas dasar fatwa MUI itulah BPJPH menerbitkan sertifikat halal.
Ada sedikit perubahan terhadap wewenang mengeluarkan fatwa ini melalui UU Cipta Kerja. Jika dalam UU JPH yang berwenang berfatwa hanya MUI, UU Cipta Kerja membuka peluang organisasi kemasyarakatan keagamaan lain mengeluarkan fatwa serupa. Jadi kalau ada yang berpendapat bahwa dengan peralihan otoritas sertifikasi halal dari MUI ke BPJPH berarti peran ormas sudah diambil oleh negara, itu keliru. Justru yang terjadi malah sebaliknya. UU ini menguatkan ketundukan lembaga negara pada ormas karena melegalkan peran ormas sebagai dasar penerbitan sertifikat halal.
Artinya secara fiqh tidak ada perubahan besar. Halalnya suatu produk itu tetap saja adalah halalnya ormas. Entah itu MUI atau ormas lain. Tidak berpindah sama sekali. BPJPH hanya mengambil alih birokrasi pembuatan sertifikatnya saja.
Ibaratnya kalau dulu belajar ke guru dan beli buku juga ke guru, sekarang belajarnya ke guru tetapi beli bukunya ke toko. Tapi toko itu menjual buku juga mengikut rekomendasi guru juga.
Justru di sini ada masalah baru. BPJPH adalah lembaga yang pembentukannya dilakukan di bawah UU. Tetapi BPJPH - yang dibentuk berdasarkan UU - harus tunduk pada fatwa lembaga swadaya masyarakat yang tidak dibentuk oleh UU. Sebagai LSM, peraturan keanggotaan dan kepengurusanya tidak diikat oleh UU tetapi hanya oleh kesepakatan internal ormas. UU BPJPH tidak mengatur atau menspesifikasi siapa dan bagaimana orang maupun prosedur internal pembuatan fatwa di LSM-LSM tersebut. Lalu bagaimana bisa sebuah ormas menjadi penentu bagi lembaga resmi seperti BPJPH?
Aneh. Tetapi itu yang terjadi. Alih-alih menyapih LSM dari negara, UU ini justru menguatkan otoritas LSM di atas lembaga negara. Sehingga masuk akal jika Gus Amin Mudzakkir mempertanyakan mengapa kaum sekuler tampak bersukacita dengan peralihan ini..
Sumber gambar : Sindonews
0 Comments