"Tahun ini saya diundang Arbain ke Karbala," ucap Mas itu sambil meneguk kopinya.
Wajahnya biasa saja. Tak nampak tanda-tanda religius. Ia sering tampil di media sosial, tapi tak nampak sebagai seorang yang sedang atau pernah mengalami pergulatan spiritual.
"Ada satu lagi kawan yang tiap tahun berangkat," lanjutnya sambil menyebutkan nama seorang pengusaha muda yang cukup terkenal.
Saya terkaget tidak menyangka.
"Dia tasyayyu'?" Tanya saya.
"Tentu. Tak mungkin dia berangkat tiap tahun kalau bukan tasyayyu'."
Saya diam sejenak.
Banyak juga ternyata anggota komunitas itu. Mereka berkecimpung di berbagai ragam bidang tanpa menunjukkan jati diri. Bahkan nampak seperti orang yang tidak religius sama sekali.
"Semasa mahasiswa, saya sering ke Bandung menemui Kang Jalal," kenangnya.
Ia lulusan kampus bergengsi di Amerika. Bukan sekolah agama. Saya lihat gaya berpakaiannya. Kemeja biasa dan celana jeans. Tidak tampak tanda-tanda afiliasi keagamaan tertentu. Tapi ternyata dia sudah melalui pergulatan spiritual yang tidak biasa.
"Biar saya begini saja. Nampak seperti orang sekuler." Dia memungkasi pembicaraan.
Saya mengangguk saja. Tidak perlu saya mendebat, kan? Toh orang bebas mau menganut keyakinan apa saja.
***
Lelaki yang duduk di hadapan saya ini sedang membicarakan ritual Arbain yang akan dijalaninya sekitar sebulan lagi. Ritual Arbain adalah perjalanan ziarah ke makam Imam Husain, cucu Nabi Muhammad, yang syahid di Padang Karbala, Irak.
Pada tahun 61H, Imam Husain dan keluarganya berangkat meninggalkan Madinah atas undangan penduduk Kufah. Situasi kala itu mencekam karena Yazid yang baru saja menerima warisan kekhalifahan dari ayahnya menekan semua penduduk untuk membaiatnya. Husain menolak berbaiat karena prosedur pengangkatan Yazid melanggar perjanjian serta alur dan patut. Ia melawan.
Sayang sekali rencana itu bocor kepada pihak penguasa. Yazid mengirim pasukan ke Kufah menghalangi rakyat yang hendak membaiat Husain. Pasukan itu kemudian berangkat ke Karbala menghadang karavan Husain. Perang tidak seimbang pun pecah. Husain dan semua anggota rombongan termasuk anak-anak dan bayinya gugur pada 10 Muharam 61H itu. Hanya ada dua laki-laki yang selamat yakni Hasan Al Mutsanna dan Ali Zainal Abidin. Keduanya menjadi leluhur anak keturunan nabi hingga kini.
Empat puluh hari setelah kejadian itu, sahabat nabi Jabir Al Anshari tiba di Karbala setelah berjalan kaki dari Madinah. Di sana ia mendapati gundukan tanah pusara Husain. Sejak saat itu menjadi kebiasaan bagi kaum Syiah untuk menziarahi makam Husain pada hari ke 40 sesudah 10 Muharram setiap tahunnya. Dari sanalah nama Arbain yang berarti "Empat Puluh" muncul.
***
Meskipun tidak diorganisir seperti ritual Haji, jumlah peserta peringatan Arbain tetap besar setiap tahunnya. Berbagai berita mengatakan peserta Arbain tiap tahun berkisar di angka belasan hingga 20-an juta jiwa. Rombongan ini datang dari berbagai negara termasuk dari Indonesia.
Meneladani perjalanan Jabir Al Anshari, biasanya para peziarah melakukan ritual dengan cara berjalan kaki dari daerah masing-masing menuju Karbala. Ada yang berjalan kaki dari Bashrah, Suriah, Iran dan dari kawasan lainnya. Para peziarah yang datang dari negeri yang jauh -seperti Indonesia- biasanya memulai ritual berjalan kaki dari Kota Najaf yang berjarah 80 km dari Karbala. Perjalanan dari Najaf ke Karbala biasanya memakan waktu dua hingga empat hari, tergantung kondisi fisik masing-masing.
***
Menjelang berpisah, lamat-lamat saya perhatikan wajah Mas itu. Dia akan menjalani perjalanan yang tidak mudah, baik secara fisik maupun secara mental. Tak hanya itu, ia mungkin akan menghadapi stigma yang akan tertempel di keningnya apabila ketahuan telah pergi ke Karbala.
Masyarakat Muslim Indonesia mungkin sudah terbiasa dengan perbedaan agama, tapi belum terbiasa dengan perbedaan sekte dalam satu agama.
Saya cuma melihat sambil bergumam semoga ia selamat dalam perjalanan hingga kembali ke Indonesia. Tak hanya fisiknya, tapi juga citranya.[]
Sumber gambar : World Council of Shia Centers
0 Comments