Ada tiga faktor yang dapat menciptakan revolusi yang sukses, Kata Roger Garaudy saat membahas revolusi di Iran pada tahun 1979. Saat itu, dari jalanan muncul pergerakan menguasai ibukota, menundukkan tentara, membuat lari kaisar atau Shah, dan menaikkan seorang sufi tua ke atas puncak kekuasaan.
Tiga faktor itu ialah agenda, massa, dan pimpinan.
Pada saat itu ada agenda tunggal yang bertemu yakni penjungkalan Shah. Latar belakangnya berbeda-beda. Bagi kelompok agama, Shah terlalu sekuler. Ia tak segan melawan otoritas agama. Bagi kelompok kiri, monarki jelas-jelas musuh yang menghisap rakyat. Bagi kaum pengusaha, Shah tidak mampu menjamin stabilitas ekonomi. Bagi rakyat jelata, revolusi agraria yang dibuat Shah telah membuat mereka kehilangan pendapatan. Bagi feodalis, reformasi agraria yang dilakukan Shah telah mengurangi lahan-lahan mereka.
Massa itu bertemu di satu agenda yang sama : jatuhkan Shah.
Namun agenda ini tak akan berjalan bila tidak ada satu pihak yang berani mengambil risiko menjadi sasaran tembak dan memimpin gerakan itu. Itulah Ayatullah Khomeini.
Bertemunya ketiga faktor itu menyebabkan pergerakan massa tidak dapat lagi dibendung. Tentara yang semula diperkirakan akan membela Shah, ternyata angkat tangan menghadapi lautan massa. Mereka mundur dan menyatakan diri netral.
Maka, selesai sudah. Shah kabur, Khomeini pulang. Sejarah pun tercipta.
***
Sekarang kita lihat Rocky Gerung. Apakah dia punya agenda?
Punya. Tapi agendanya terlalu mengawang. Sebagai orang yang belajar filsafat, ia menyusun agendanya dari pikiran. Maka lihatlah pernyataan-pernyataannya yang selalu berpusat pada pikiran. Agenda ini menarik, tapi jauh dari menggerakkan. Ia keren tapi terlalu tinggi.
Agenda yang terlalu tinggi dan jauh dari keseharian rakyat itu tidak mampu menciptakan kegelisahan massal. Ia sekedar menciptakan efek placebo saja. Ia memberikan sedikit rasa terhibur, menyalurkan sakit hati, dan membuat rakyat jelata merasa terobati. Dan selesai di situ, tak ada apa-apa lagi.
Maka Rocky tidak menghadirkan agenda yang benar-benar dibutuhkan, dan sekaligus tidak mempunyai massa. Akibatnya, dia bukan pemimpin.
Tiga faktor yang dikemukakan Garaudy tidak berkumpul pada diri Rocky.
***
Lalu apa guna Rocky?
Buat penguasa, Rocky Gerung perlu dipelihara sebagai kanalisasi sekaligus alat kontrol wacana oposisi. Sosok sekuler seperti dia penting dijaga agar narasi oposisi tidak terlalu menceng ke kanan. Bayangkan saja bila discourse oposisi dikuasai kaum kanan, kan makin ribet.
Rocky ini menarik. Posisinya sebagai filosof (atau sofis?) membuatnya cukup populer sebagai driver wacana. Namun, dengan status sekuler sekaligus nonmuslim atau bahkan agnostiknya, dia tidak akan mampu menggerakkan gerakan oposisi menjadi solidaritas yang lebih militan.
Artinya dengan narasinya yang selalu memusatkan diri pada pikiran, Rocky Gerung sukses membuat oposisi mentok di sana-sana aja. Mentok di level pikiran, tidak menjelma menjadi kekuatan jalanan atau kekuatan penekan yang efektif. Alias, Rocky sukses membuat oposisi terhenti di titik perang ludah saja.
Coba anda bayangkan bila driver wacana oposisi adalah Habib Rizieq Shihab yang posisinya lebih kanan, punya ummat, dan militan. Rizieq bisa menggerakkan basis massa dari masjid ke masjid sehingga berkumpul dalam jumlah besar. Ia sudah membuktikannya di Monas pada tahun 2016. Repot sekali Jokowi karenanya.
Untuk Rocky, di balik tembakan-tembakan moncongnya yang selalu mencecar Istana, sesungguhnya dia sedang menjaga Istana dari serangan yang lebih bermakna.
Jadi, pemerintah perlu memberikan ucapan terima kasih kepada Rocky Gerung plus tepuk pundaknya dan bilang, "Good job, Dude !"[.]
Sumber gambar : UMSU
2 Comments
Terimakasih Buya sudah panggil Habib buat HRS :-)😊
ReplyDeleteSama ustadz Ketua FPI.. 😀
Delete